Wednesday, March 30, 2011

Tour de Java 2 - chapter 2

Chapter 2

Tak terasa sudah jam 10 kurang 5 menit. Saat itu kereta akan memasuki Stasiun Purwakarta. Gue pun berjalan ke bordes dengan membawa kamera andalanku, sebuah DSLR. Samar-samar terlihat nyala lampu sebuah lokomotif. Gue pun bersiap-siap untuk memotret benda yang memancarkan sinar yang menembus gelapnya malam. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah CC 203 11, dinas kereta Argo Parahyangan terakhir dari Jakarta. Setelah berhenti 5 menit, yang duluan diberangkatkan adalah KA Argo Parahyangan, diikuti keberangkatan KA Harina. Dari kejauhan gue melihat ke belakang, Stasiun Purwakarta kembali sepi. Tahu-tahu, muncul sesosok pria di bordes. Ternyata Pak Anto, hendak ke toilet…

“Bobby? Lagi ngapain?” tanya Pak Anto.
“Enggak, Cuma lagi ngeliatin pas tadi kereta masuk Purwakarta,” jawabku.
“Oh begitu. Ya sudah, saya ke toilet dulu,” lanjutnya.

Maka gue kembali ke tempat dudukku, sedang Pak Anto pergi ke toilet. Di dalam, ternyata Ben kembali terbangun…

“Lu dari mana?” tanya Ben setengah mengantuk.
“Dari bordes. Kenapa?” tanyaku balik.
“Udah nyampe mana?” tanya Ben lagi.
“Baru lewat Purwakarta,” jawabku. “Bentar lagi nyampe Cikampek?”
“Ah masa bentar?” tanya Ben.
“Hehe, setengah jam palingan,” jawabku. “Entar mo ikut motret pas lokonya pindah posisi?”
“Boleh aja,” jawabnya.

Maka gue pun duduk sebentar, melihat hasil foto tadi, lalu menyimpannya, karena ingin pergi ke toilet. Tahu-tahu, di bordes Pak Anto lagi bercakap-cakap dengan seseorang.

“Ada apa Bobby?” tanyanya yang telah selesai berbicara lewat HP.
“Oh, cuma mo ke toilet,” jawabku.

Maka gue pun masuk ke dalam toilet, dan Pak Anto kembali ke tempat duduknya. Setelah beres dari toilet, gue kembali ke tempatku. Tahu-tahu kereta berbelok ke kiri dan mengurangi kecepatan…

“Udah nyampe Cikampek ya?” tanya Ben.
“Yup. Mo turun ga nih?” kataku. “Ga bakal ditinggal koq.”

Maka, seberhentinya kereta, kami membuka pintu gerbong paling belakang – nantinya bakal jadi paling depan – lalu memotret keadaan di stasiun malam itu. Tak berselang lama, lokomotif sudah berada di depan gerbong kami. Kami kembali naik untuk memotret moment pemasangan coupler lokomotif dari atas, karena di sisi samping lok berkumpul staff yang akan membantu pemasangan coupler. Sekarang posisi CC 204 11 sudah shorthood. Setelah selesai, 5 menit kemudian kereta kembali diberangkatkan.

Tuesday, March 29, 2011

Tour de Java 2 - chapter 1

Ini cerpen (sebenarnya hampir mendekati cerita panjang) buatan saya, mohon maaf apabila ada kesamaan nama dan tempat. Cerita hanyalah karangan fiksi belaka.

Selamat menikmati!

______________________________________________________________________


Minggu, 14 Maret 2010. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi justru emplasemen utara Stasiun Bandung dipenuhi sekelompok anak SMA. Belum ditambah gelombang penumpang KA Argo Wilis yang baru tiba dari Surabaya, makin bertambah penuhlah stasiun tersibuk di Parijs van Java ini. Beruntung saja, penumpang KA Lodaya Malam telah diberangkatkan menuju Solo, kalo tidak makin penuhlah stasiun ini.

Melongok ke arah barat, terlihat 2 rangkaian kereta. Di jalur 5 ada KA Argo Parahyangan tujuan Jakarta, pemberangkatan terakhir dari Bandung 5 menit kemudian, dan di jalur 6 ada KA Harina tujuan Semarang, berangkat pukul 20:30. Itulah KA yang akan gue dan temen-temen – rombongan anak SMA tadi – bakal tumpangi ke Surabaya.

Lho, kenapa ga naik Turangga? Atau yang lain? Soalnya tujuan akhir kita bukan Surabaya, tapi Bojonegoro. Itupun masih harus melakukan perjalanan 30 menit dengan mobil ke suatu daerah pedesaan diantara dua kota besar itu. Kalo naik Turangga emang lebih cepat, tapi butuh transportasi lain ke Bojonegoro, yang setelah dihitung-hitung jadi lebih mahal ketimbang naik Harina lalu nyambung Rajawali sampe Bojonegoro.

Jam 20:05, terdengar jelas suara semboyan 35 menandakan sebuah kereta akan diberangkatkan.

“Kereta kitakah itu?” Tanya salah seorang guru pembimbing, Pak Anto.
“Bukan, Pak. Itu Argo Parahyangan,” jawabku. “Kereta kita berangkat setengah sembilan.”
“Bobby gitu lho, pasti tahu kalo ditanya soal kereta!” celetuk sahabatku Ben, yang berdiri di sampingku.
“Makanya saya minta tolong dia urusin kereta buat pergi live-in,” kata Pak Anto lagi.

Gimana enggak? Gue adalah orang yang paling tahu soal kereta diantara teman seangkatan gue. Itulah ciri seorang penggemar kereta api, railfan kata orang bule. Layaknya seorang filatelis yang pasti tau soal segala sesuatu di balik panggung persuratan, seorang railfan pun tahu seluk beluk perkeretaapian, mulai dari sejarah, kelas-kelas gerbong, semboyan-semboyan, sampai pada spesifikasi terperinci sebuah lokomotif, misalnya. Dan, itupun hanya orang-orang tertentu yang sudah menguasai semuanya. Katakanlah para professor perkeretaapian. Dan gue belum mencapai tingkatan itu. Tapi, setidaknya, lewat hal “kecil” ini gue berhasil membuat beberapa temen terjangkit “virus” railfan ini, termasuk Ben sahabatku.

Back to Stasiun Bandung, singkat cerita kamipun bergerak menuju rangkaian Harina di jalur 6. Kami mendapat tempat di gerbong 1 dan 2, di bagian belakang rangkaian saat itu. Ternyata itu adalah gerbong tambahan, terlihat dari kode gerbong: K1-98803 BD sebagai Eksekutif 1 dan K1-65801 BD sebagai Eksekutif 2. Kelas gue mendapat jatah kursi di gerbong 1. Gue pun mengambil kursi single di bagian belakang, nomor 13B, karena Ben duduk bareng pacarnya di 13 C-D.

Setelah membereskan barang – kira-kira pukul 20:15 – kami berdua meminta izin kepada Pak Anto, yang duduk di single seat depan – nomor 1C – untuk melihat-lihat kedepan. Setelah diizinkan, kami berjalan ke bagian depan rangkaian. Terlihat lokomotif yang akan dinas CC 204 11 SMC, posisi longhood. Berurutan di belakangnya ada gerbong barang, Eksekutif 6, 5, 4, gerbong makan, Eksekutif 3, 2, 1. Terlihat gerbong Eksekutif 3-6 juga hamper terisi penuh. Setelah puas mengamati, dan juga memotret, kami kembali ke gerbong 1. Tepat pukul 20:30, KA Harina memulai perjalanan panjangnya menuju Semarang.

Good bye Bandung, Semarang, we’re coming!

- TBC -

Saturday, March 05, 2011

Corat-coret di dinding...


Pastinya sudah ga asing lagi buat kita menemukan coretan di dinding toilet umum, baik itu di mall, stasiun, rumah sakit, dll. Mulai dari yang berisi tanggal seseorang “resmi” berpacaran dengan pasangannya, nomor telepon “customer service” yang kadang ga jelas apa tujuannya, umpatan yang membawa nama Canis domesticus dalam Bahasa Indonesia, sampai juga tulisan yang dibuat tanpa tujuan apapun...

Tapi, suatu ketika, ada “watermark” yang bikin gue cukup bingung.

Stasiun Bandung, 04 Maret 2011. Sambil menunggu kedatangan KA Argo Parahyangan (GoPar) 24 dari Jakarta sekitar jam 3, gue pergi ke toilet di sisi barat stasiun, belakangnya Hokben, untuk mengganti baju. Ketika menutup pintu toilet, gue “disambut” dengan “watermark” yang berbunyi “I’m Railfans”.


Entah si penulis beneran railfan atau bukan, tapi tumben juga ada railfan yang ikut-ikutan “membubuhkan tanda tangan” di dinding toilet. Padahal, setahu gue, biasanya yang namanya railfan itu bakal menjaga keindahan benda-benda yang berkaitan dengan kereta dan asesorisnya, termasuk toilet stasiun...

BTT, jujur saja, gue cukup terganggu dengan kehadiran “watermark-watermark” yang “menghiasi” dinding toilet yang biasanya emang hanya didominasi 1 warna atau tegel putih yang tidak mudah lapuk terciprat ataupun tersiram air. Seakan menimbulkan kesan kalo toiletnya ga pernah dibersihin, walau, sebenernya, kakusnya terlihat bersih dan tidak tercium aroma “khas” toilet yang mengganggu indera penciuman manusia.

Adakah cara menghilangkan “kesenian” macam corat-coret di dinding toilet seperti ini?