Thursday, May 05, 2011

The Real Pulitzer - chapter 4

Kami berdua pun meluncur ke Rumah Sakit Rajawali, ketika hujan sudah berhenti. Tapi, hasilnya mengecewakan kami. Keluarga pasien tidak mengizinkan siapapun menjenguk korban. Jadi, kami tidak berhasil mendapatkan "berita eksklusif" dari korban. Setidaknya, kami diizinkan untuk memotret dari luar pintu kamar yang bertuliskan nama pasien, sehingga dapat dipastikan korban TIDAK meninggal.

Hari-hari pun berlalu, dan gue terus meng-update berita seputar PLH tersebut. Anehnya, teman-teman, baik di kelas maupun di forum, tetap bersikeras dengan opini media massa, yang mengatakan bahwa korban kecelakaan telah meninggal. Tapi gue pun berbalik meyakinkan mereka dengan mengutip pendapat ketiga petugas PJL tadi, sembari memutar rekaman pembicaraan gue dengan Pak Saleh lewat HP maupun di-upload ke forum, juga meng-upload foto yang gue ambil di rumah sakit. Seluruh kelas dan forum pun seakan menjadi percaya akan pernyataan gue, yang didukung erat dengan bukti-bukti tadi. Tapi, masih ada pihak yang tidak percaya akan hal tersebut.

Tanggal 10 November, muncul berita bahwa PT Kereta Api (Persero) Daop II Bandung berencana menjatuhkan sanksi kepada Pak Saleh, dengan memecatnya dari jabatan sebagai petugas PJL terhitung tanggal 11 bila tidak mengakui kesalahannya. Gue dan Dede pun terkejut mendengar berita tersebut. Kami pun mencoba mendatangi kantor surat kabar yang cukup ternama di Kota Bandung sembari menyerahkan rekaman pembicaraan gue dengan Pak Saleh. Setelah diterima dengan ramah dan berhasil menyerahkan rekaman tadi, kami pun meluncur ke Kantor PT KA. Tak tanggung-tanggung, kami coba mendatangi kantor pusat di Perintis Kemerdekaan. Ternyata kami disambut ramah oleh sekretaris bagian SDM. Kami pun menyampaikan perihal penuturan Pak Saleh tadi. Akhirnya, kami disuruh membawa Pak Saleh ke kantor pusat sore itu. Kami pun bergegas ke rumah gue, lalu mengganti motor dengan mobil, dan pergi menjemput Pak Saleh.

"Pak, ada urusan penting. Kita harus ke Pusat sore ini," kataku ketika Pak Saleh membukakan pintu rumahnya.
"Ah, palingan saya dipecat," jawab Pak Saleh putus asa.
"Belum tentu, Pak, siapa tahu cuma interogasi," kata Dede meyakinkan.
"Iya, habis itu ya saya dipecat," jawab Pak Saleh balik.
"Yakin Bapak dipecat?" tanya saya balik. "Gimana kalo saya tantang, taruhannya ga usah duit, tapi siapa yang menang dapet cendol di forum?"

Ternyata, cara itu bisa meyakinkan Pak Saleh untuk berangkat bersama kami ke Kantor Pusat PT KA (Persero) di Perintis Kemerdekaan. Setiba kami di sana, kami langsung disambut oleh Direktur SDM bersama Direktur Keamanan Perjalanan. Kembali terlihat ekspresi takut di muka Pak Saleh. Apalagi, tampang kedua direktur tadi cukup garang...

"Ini Pak Saleh ya?" tanya Direktur SDM dengan suara yang nge-bass banget.
"Iya, saya, Pak," jawab Pak Saleh sebaik mungkin. "Ada perlu apa Bapak memanggil saya?"
"Boleh kami bicara dengan Anda di ruangan saya?" tanya Direktur Keamanan.
"Boleh saja, Pak," jawab Pak Saleh. "Bobby, Dede, kalian tunggu di lobby saja ya."

Kami pun berpisah dengan ketiga pria tadi, yang menghilang di ujung koridor. Kami pun menunggu hasil pembicaraan mereka di lobby. Sekalipun tersedia jaringan hotspot, kami berdua tidak ada yang berniat browsing.

Sudah pukul 5 sore, dan terdengar suara semboyan 35 KA Mutiara Selatan datang dari arah barat. Tapi, ketiga pria tadi tak kunjung hadir di lobby. Lama juga mereka berbincang-bincang, sejak jam 15:30 tadi siang menjelang sore.

Akhirnya, pukul 17:30, setelah mayoritas karyawan kembali ke rumah masing-masing, muncullah Pak Saleh dari ujung koridor. Wajahnya terlihat agak lesu. Gue pun jadi merasa kalah dalam tantangan tadi, mengira bahwa Pak Saleh telah dipecat dari pekerjaannya...

Wednesday, May 04, 2011

The Real Pulitzer - chapter 3

Ting-tong, ting-tong...

Terlihat sepasang palang putih-merah di kedua sisi rel menutupi jalan yang menyeberangi lintasan rel kereta api. Gue pun keluar dari pos dengan rasa lega, dan mengeluarkan ponsel untuk memotret rangkaian KA Argo Parahyangan yang akan lewat. Masinis pun kembali membunyikan semboyan 35 ketika melintasi pos tempat gue dan Dede berdiri memotret rangkaian yang lewat.

"Eh, buka lagi palangnya!" seru Dede melihat gue yang hanya memotret saat bagian belakang kereta sudah melewati palang perlintasan.
"Eh iya, sorry," jawabku.

Gue pun kembali menekan tombol yang sama, dan palang di kedua sisi kembali terangkat. Tak berapa lama muncul seorang pria berpayung dengan tergesa-gesa.

"Aduh, maafkan Bapak ya, tadi nunggu belanjaannya lama," jawab orang tersebut.

Ternyata dia adalah Pak Komar, rekan Pak Saleh. Ia menggantikan posisi Pak Saleh yang minta diliburkan, pasca-PLH kemarin.

"Pak Komar, Pak Saleh gimana kabarnya?" tanya Dede.
"Baik-baik saja, hanya dia minta cuti dulu hari ini," jawab Pak Komar.
"Boleh nanya ga, Pak?" tanya Dede lagi. "Di koran katanya pengendara motor tewas, apa benar begitu?"
"Lha, info yang saya dapatkan dari Pak Saleh dan Pak Marto yang jaga kemaren, katanya cuma patah tulang," jawab Pak Komar.

Gue pun menjadi makin bingung. Sudah tiga orang yang bilang kalau korban cuma luka-luka, tidak sampai meninggal.

"Biasa, orang kan cari sensasi, makanya dibilang tewas," jawabku datar.

Kedua orang yang ada di situ pun langsung tercengang ke arahku.

"Ah masa begitu?" tanya Dede.
"Buktinya Pak Komar bilang ga tewas. Gue juga udah ke rumahnya Pak Saleh kemaren, beliau bilang cuma luka-luka dan dirawat di Rajawali," jawab gue.
"Oh ya, Pak. Boleh liat-liat ke TKP ga?" tanya Dede penasaran.
"Boleh saja, udah beres koq olah TKP-nya," jawab Pak Komar.

Akhirnya gue dan Dede berjalan menuju TKP yang masih diguyur hujan lebat. Tapi, karena seragam kami berdua sudah terlanjur basah, kami tidak mempedulikannya lagi. TKP berada di sebelah barat PJL, samping rel arah Jakarta. Setiba kami di sana, kami menemukan beberapa serpihan kecil bekas kecelakaan kemarin, termasuk satu buah kaca spion yang terhalang semak-semak. Mungkin karena itulah benda tersebut tertinggal di situ. Sekilas gue perhatikan model spionnya, yang ternyata sama dengan spion motor gue.

"Wah motornya masih garansi nih," celetuk gue.
"Iya, katanya keluaran terbaru," jawab Dede. "Eh, mirip motor lu. Jangan-jangan..."
"Hus, seenak perutmu!" jawabku. "Ga mungkin lah gue mo nyuri motor hancur. Ada-ada aja!"

Setelah meneliti TKP, kami pun tidak lupa untuk bernarsis ria di tempat tersebut. Dede berpura-pura menjadi seorang detektif, dengan bergaya meneliti peninggalan berupa satu buah spion motor, dan gue berpura-pura menjadi korban kecelakaan, dengan tidur telentang di atas rel. Setelah puas berpose, kami pun kembali ke pos di mana Pak Komar berada. Tak lupa, Dede membawa kaca spion tadi.

"Pak, Bobby nemu spion di sana, koq ga diambil?" tanya Dede sembari menyerahkan barang bukti.
"Oh, kayaknya mereka ga liat deh," duga Pak Komar. "Ya sudah, disimpen di saya saja dulu."

Setelah itu, kami pun berpamitan untuk pergi menjenguk korban di Rumah Sakit Rajawali...

Tuesday, May 03, 2011

The Real Pulitzer - chapter 2

"Melanggar Sinyal, Tewas Disambar Kereta", begitulah bunyi headline sebuah koran ternama di Kota Bandung. Gue masih tidak percaya, kenapa orang banyak masih percaya bahwa si korban kecelakaan, seorang pramugara maskapai penerbangan, tewas seketika. Padahal, menurut kesaksian Pak Saleh kemaren - yang gue rekam di BB dan masih tersimpan sampai sekarang - si pramugara itu hanya mengalami patah tangan dan kaki, dan kini dirawat di Rumah Sakit Rajawali, dekat dengan PJL Andir.

Singkat cerita, gue pun kembali bertemu dengan Ben. Dia pun menanyakan perihal obrolan gue dengan Pak Saleh kemarin sore.

"Bagaimana kondisi korban?" tanya Ben.
"Enggak tewas koq, sekarang lagi dirawat di Rajawali," jawabku.
"Lho, tapi di koran katanya tewas?" tanya Ben, yang kali ini tidak percaya.

Gue pun menjadi kebingungan, mana yang harus dipercaya. Apakah Pak Saleh, yang adalah saksi mata langsung dari kejadian tersebut, atau media massa, yang (maaf) hanya bertugas meliput apa yang terjadi. Ditambah penuturan guru Bahasa Indonesia saat dia masuk kelas. Dari gaya berbicaranya, sangat dapat dipastikan bahwa si pramugara - yang konon adalah teman dekatnya - tewas seketika saat dicium lokomotif KA Argo Parahyangan.

Beruntung sekali, hari ini kami pulang cepat, entah karena alasan apa. Gue pun langsung meluncur ke TKP, kali ini menggunakan motor. Alangkah kagetnya gue, ketika di tengah perjalanan gue baru sadar bahwa gue saat itu hanya memakai topi, dan bukan helm. Tapi, jam sudah menunjukkan pukul 11:10, dan gue ingin secepatnya tiba di PJL, agar tidak ketinggalan moment memotret KA Argo Parahyangan yang bakal lewat jam 11:30 lebih sedikit. Lagipula, bensin di reservoir menunjukkan sisa sedikit lagi, tidak cukup apabila gue kembali ke sekolah untuk mengambil helm. Maka, gue memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melewati jalan tikus agar tidak ditilang polisi, plus mengurangi kecepatan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tak lama berselang, hujan pun turun. Guyurannya pun tidak kira-kira, langsung sangat deras. Sebelum gue berhasil menemukan tempat berteduh, badan gue sudah keburu basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gue pun memutuskan untuk terus menerobos hujan yang sangat deras, berbeda dengan pengendara motor lainnya yang memilih berteduh. Ternyata, bukan Cuma gue aja yang nekat menerobos derasnya hujan siang itu. Ada juga sekelompok bocah berseragam putih merah yang terlihat bersenang-senang diguyur hujan lebat. Dan bukan cuma satu kelompok, tetapi banyak sekali, dan semuanya laki-laki. Gue pun berhenti sejenak untuk memotret moment tersebut. Setelah selesai memotret, gue kembali melanjutkan perjalanan.

Singkat kata, pukul 11:30 tepat gue tiba di PJL Andir. Alangkah kagetnya ketika orang yang gue temui di dalam pos kecil bukanlah Pak Saleh, yang dinas hari itu, tetapi seorang bocah berseragam putih-biru tua, yang sama basah kuyupnya dengan gue. Dia adalah Dede, sesama railfan anak Bandung.

"Lho, De? Ngapain di sini?" tanyaku.
"Pulang cepet," jawab Dede. "Lu juga ngapain, ngebolos ya?"
"Enak aja, gue juga pulang cepet," jawabku.

Tiba-tiba terdengar lonceng penanda akan ada kereta lewat, tetapi Pak Saleh tak kunjung datang. Melihat lokomotif yang semakin mendekat dari arah timur, kami pun menjadi panik. Ketika masinis membunyikan semboyan 35 sangat panjang, akhirnya...

"Pencet aja yang di tengah!" seru Dede panik.
"Yakin yang itu?" tanyaku.
"Udah, pencet aja!" seru Dede lagi, lebih keras dari yang tadi.

Dengan penuh ketidakpastian gue pun menekan tombol yang terletak di tengah-tengah meja kontrol...

Monday, May 02, 2011

The Real Pulitzer - chapter 1

Berhubung sedang ada masalah dengan data cerpen "Tour de Java 2", maka sebagai selingan akan saya upload dulu cerpen baru berjudul "The Real Pulitzer". Selamat menikmati!

Senin, 08 November 2010. Seperti hari kerja pada umumnya, ruas jalan Gunung Batu di persimpangan dengan pintu keluar Tol Pasteur pasti dipadati kendaraan, baik itu motor, mobil, bahkan terkadang kendaraan yang lebih besar.

Sambil menunggu terurainya kemacetan, gue pun mengambil BB baruku dan ingin membuka forum semboyan 35 sambil menunggu lampu berubah hijau. Tahu-tahu Ben mengirimku sebuah pesan lewat BBM. Isinya sungguh mengejutkan...

ben_010993: bro, gw kejebak macet nih di andir, katanya ada motor ditabrak kereta...

"Beneran nih?" pikirku, yang langsung gue kirim balik kepada Ben...

bobby_cepe: bneran tuh, keretanya gopar ya?

Tak berapa lama muncul BBM balasan dari Andir...

ben_010993: maybe... kliatannya cuma strip bisnis, bisa aja krd pake k2 gopar

Bener-bener gue masih ga percaya dengan berita ini. Tapi, lampu sudah berubah jadi hijau, gue pun harus kembali mengendarai mobil gue

bobby_cepe: ywd, ntar diomongin di skul aja, gw mo jalan dulu

Singkat kata, jam 6:35 gue tiba di sekolah. Tau-tau, di parkiran telah menunggu sesosok siswa, yang wajahnya tidak lagi asing buat gue.

"Lama banget sih?" tanya Ben. "Gue aja yang kehalang kereta bisa nyampe lebih cepet."
"Biasa, macet di Pasteur," jawabku singkat. "Ada fotonya ga tadi?"
"Ini, cuma ada dikit," jawab Ben sambil mengeluarkan BB-nya. "Sorry kalo burem, soalnya buru-buru disuruh jalan ama polisi."
"Ga takut ditilang?" tanya gue.
"Kan gue dianterin bareng dede," jawab Ben. "Yuk, sambil jalan!"

Kami pun mulai berjalan menuju lantai 3, tempat kelas kami berada. Di perjalanan, gue ga melepaskan pandangan dari hadapan layar BB Ben, yang memperlihatkan foto-foto saat dia melintas di PJL Andir, lokasi di mana ada sebuah sepeda motor yang tertabrak kereta, kemungkinan KA Argo Parahyangan tujuan Jakarta. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku...

"Trus orang yang ditabrak, gimana?" tanyaku.
"Katanya mati," jawab Ben datar.
"Yakin mati?" tanyaku masih tidak percaya.
"Ya iyalah, naik mobil aja mati, apalagi naik motor," jawab Ben, kali ini dengan nada yang dapat dipercaya.

Memang benar, lewat foto terlihat jelas motor yang ditabrak sudah hancur tak berbentuk. Tapi janggalnya, kalau memang tewas, tidak ada foto yang menunjukkan mayat korban, minimal ditutup terpal. Apa hanya terluka saja, dan sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat, mungkin Rajawali yang paling dekat?

"Ah entar gue coba tanya petugas PJL-nya, kebetulan tetangga gue," jawabku.
"Siapa, Pak Saleh ya?" tanya Ben.
"Iya, beliau kan harusnya belum ganti shift tadi pagi," jawabku.

Maka gue pun tidak sabar menunggu berakhirnya KBM hari itu. Setelah selesai, gue langsung meluncur ke rumah dengan mobil. Setelah selesai makan dan ganti baju, gue coba berkunjung ke rumah Pak Saleh, penjaga PJL Andir, yang tinggal persis di depan rumah gue. Akhirnya gue diterima oleh Pak Saleh sendiri, yang, setelah gue tanyakan perihal kejadian tadi pagi, menjelaskan detail dari kecelakaan tersebut.

Wednesday, March 30, 2011

Tour de Java 2 - chapter 2

Chapter 2

Tak terasa sudah jam 10 kurang 5 menit. Saat itu kereta akan memasuki Stasiun Purwakarta. Gue pun berjalan ke bordes dengan membawa kamera andalanku, sebuah DSLR. Samar-samar terlihat nyala lampu sebuah lokomotif. Gue pun bersiap-siap untuk memotret benda yang memancarkan sinar yang menembus gelapnya malam. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah CC 203 11, dinas kereta Argo Parahyangan terakhir dari Jakarta. Setelah berhenti 5 menit, yang duluan diberangkatkan adalah KA Argo Parahyangan, diikuti keberangkatan KA Harina. Dari kejauhan gue melihat ke belakang, Stasiun Purwakarta kembali sepi. Tahu-tahu, muncul sesosok pria di bordes. Ternyata Pak Anto, hendak ke toilet…

“Bobby? Lagi ngapain?” tanya Pak Anto.
“Enggak, Cuma lagi ngeliatin pas tadi kereta masuk Purwakarta,” jawabku.
“Oh begitu. Ya sudah, saya ke toilet dulu,” lanjutnya.

Maka gue kembali ke tempat dudukku, sedang Pak Anto pergi ke toilet. Di dalam, ternyata Ben kembali terbangun…

“Lu dari mana?” tanya Ben setengah mengantuk.
“Dari bordes. Kenapa?” tanyaku balik.
“Udah nyampe mana?” tanya Ben lagi.
“Baru lewat Purwakarta,” jawabku. “Bentar lagi nyampe Cikampek?”
“Ah masa bentar?” tanya Ben.
“Hehe, setengah jam palingan,” jawabku. “Entar mo ikut motret pas lokonya pindah posisi?”
“Boleh aja,” jawabnya.

Maka gue pun duduk sebentar, melihat hasil foto tadi, lalu menyimpannya, karena ingin pergi ke toilet. Tahu-tahu, di bordes Pak Anto lagi bercakap-cakap dengan seseorang.

“Ada apa Bobby?” tanyanya yang telah selesai berbicara lewat HP.
“Oh, cuma mo ke toilet,” jawabku.

Maka gue pun masuk ke dalam toilet, dan Pak Anto kembali ke tempat duduknya. Setelah beres dari toilet, gue kembali ke tempatku. Tahu-tahu kereta berbelok ke kiri dan mengurangi kecepatan…

“Udah nyampe Cikampek ya?” tanya Ben.
“Yup. Mo turun ga nih?” kataku. “Ga bakal ditinggal koq.”

Maka, seberhentinya kereta, kami membuka pintu gerbong paling belakang – nantinya bakal jadi paling depan – lalu memotret keadaan di stasiun malam itu. Tak berselang lama, lokomotif sudah berada di depan gerbong kami. Kami kembali naik untuk memotret moment pemasangan coupler lokomotif dari atas, karena di sisi samping lok berkumpul staff yang akan membantu pemasangan coupler. Sekarang posisi CC 204 11 sudah shorthood. Setelah selesai, 5 menit kemudian kereta kembali diberangkatkan.