Wednesday, May 04, 2011

The Real Pulitzer - chapter 3

Ting-tong, ting-tong...

Terlihat sepasang palang putih-merah di kedua sisi rel menutupi jalan yang menyeberangi lintasan rel kereta api. Gue pun keluar dari pos dengan rasa lega, dan mengeluarkan ponsel untuk memotret rangkaian KA Argo Parahyangan yang akan lewat. Masinis pun kembali membunyikan semboyan 35 ketika melintasi pos tempat gue dan Dede berdiri memotret rangkaian yang lewat.

"Eh, buka lagi palangnya!" seru Dede melihat gue yang hanya memotret saat bagian belakang kereta sudah melewati palang perlintasan.
"Eh iya, sorry," jawabku.

Gue pun kembali menekan tombol yang sama, dan palang di kedua sisi kembali terangkat. Tak berapa lama muncul seorang pria berpayung dengan tergesa-gesa.

"Aduh, maafkan Bapak ya, tadi nunggu belanjaannya lama," jawab orang tersebut.

Ternyata dia adalah Pak Komar, rekan Pak Saleh. Ia menggantikan posisi Pak Saleh yang minta diliburkan, pasca-PLH kemarin.

"Pak Komar, Pak Saleh gimana kabarnya?" tanya Dede.
"Baik-baik saja, hanya dia minta cuti dulu hari ini," jawab Pak Komar.
"Boleh nanya ga, Pak?" tanya Dede lagi. "Di koran katanya pengendara motor tewas, apa benar begitu?"
"Lha, info yang saya dapatkan dari Pak Saleh dan Pak Marto yang jaga kemaren, katanya cuma patah tulang," jawab Pak Komar.

Gue pun menjadi makin bingung. Sudah tiga orang yang bilang kalau korban cuma luka-luka, tidak sampai meninggal.

"Biasa, orang kan cari sensasi, makanya dibilang tewas," jawabku datar.

Kedua orang yang ada di situ pun langsung tercengang ke arahku.

"Ah masa begitu?" tanya Dede.
"Buktinya Pak Komar bilang ga tewas. Gue juga udah ke rumahnya Pak Saleh kemaren, beliau bilang cuma luka-luka dan dirawat di Rajawali," jawab gue.
"Oh ya, Pak. Boleh liat-liat ke TKP ga?" tanya Dede penasaran.
"Boleh saja, udah beres koq olah TKP-nya," jawab Pak Komar.

Akhirnya gue dan Dede berjalan menuju TKP yang masih diguyur hujan lebat. Tapi, karena seragam kami berdua sudah terlanjur basah, kami tidak mempedulikannya lagi. TKP berada di sebelah barat PJL, samping rel arah Jakarta. Setiba kami di sana, kami menemukan beberapa serpihan kecil bekas kecelakaan kemarin, termasuk satu buah kaca spion yang terhalang semak-semak. Mungkin karena itulah benda tersebut tertinggal di situ. Sekilas gue perhatikan model spionnya, yang ternyata sama dengan spion motor gue.

"Wah motornya masih garansi nih," celetuk gue.
"Iya, katanya keluaran terbaru," jawab Dede. "Eh, mirip motor lu. Jangan-jangan..."
"Hus, seenak perutmu!" jawabku. "Ga mungkin lah gue mo nyuri motor hancur. Ada-ada aja!"

Setelah meneliti TKP, kami pun tidak lupa untuk bernarsis ria di tempat tersebut. Dede berpura-pura menjadi seorang detektif, dengan bergaya meneliti peninggalan berupa satu buah spion motor, dan gue berpura-pura menjadi korban kecelakaan, dengan tidur telentang di atas rel. Setelah puas berpose, kami pun kembali ke pos di mana Pak Komar berada. Tak lupa, Dede membawa kaca spion tadi.

"Pak, Bobby nemu spion di sana, koq ga diambil?" tanya Dede sembari menyerahkan barang bukti.
"Oh, kayaknya mereka ga liat deh," duga Pak Komar. "Ya sudah, disimpen di saya saja dulu."

Setelah itu, kami pun berpamitan untuk pergi menjenguk korban di Rumah Sakit Rajawali...

No comments:

Post a Comment