Tuesday, May 03, 2011

The Real Pulitzer - chapter 2

"Melanggar Sinyal, Tewas Disambar Kereta", begitulah bunyi headline sebuah koran ternama di Kota Bandung. Gue masih tidak percaya, kenapa orang banyak masih percaya bahwa si korban kecelakaan, seorang pramugara maskapai penerbangan, tewas seketika. Padahal, menurut kesaksian Pak Saleh kemaren - yang gue rekam di BB dan masih tersimpan sampai sekarang - si pramugara itu hanya mengalami patah tangan dan kaki, dan kini dirawat di Rumah Sakit Rajawali, dekat dengan PJL Andir.

Singkat cerita, gue pun kembali bertemu dengan Ben. Dia pun menanyakan perihal obrolan gue dengan Pak Saleh kemarin sore.

"Bagaimana kondisi korban?" tanya Ben.
"Enggak tewas koq, sekarang lagi dirawat di Rajawali," jawabku.
"Lho, tapi di koran katanya tewas?" tanya Ben, yang kali ini tidak percaya.

Gue pun menjadi kebingungan, mana yang harus dipercaya. Apakah Pak Saleh, yang adalah saksi mata langsung dari kejadian tersebut, atau media massa, yang (maaf) hanya bertugas meliput apa yang terjadi. Ditambah penuturan guru Bahasa Indonesia saat dia masuk kelas. Dari gaya berbicaranya, sangat dapat dipastikan bahwa si pramugara - yang konon adalah teman dekatnya - tewas seketika saat dicium lokomotif KA Argo Parahyangan.

Beruntung sekali, hari ini kami pulang cepat, entah karena alasan apa. Gue pun langsung meluncur ke TKP, kali ini menggunakan motor. Alangkah kagetnya gue, ketika di tengah perjalanan gue baru sadar bahwa gue saat itu hanya memakai topi, dan bukan helm. Tapi, jam sudah menunjukkan pukul 11:10, dan gue ingin secepatnya tiba di PJL, agar tidak ketinggalan moment memotret KA Argo Parahyangan yang bakal lewat jam 11:30 lebih sedikit. Lagipula, bensin di reservoir menunjukkan sisa sedikit lagi, tidak cukup apabila gue kembali ke sekolah untuk mengambil helm. Maka, gue memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melewati jalan tikus agar tidak ditilang polisi, plus mengurangi kecepatan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tak lama berselang, hujan pun turun. Guyurannya pun tidak kira-kira, langsung sangat deras. Sebelum gue berhasil menemukan tempat berteduh, badan gue sudah keburu basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gue pun memutuskan untuk terus menerobos hujan yang sangat deras, berbeda dengan pengendara motor lainnya yang memilih berteduh. Ternyata, bukan Cuma gue aja yang nekat menerobos derasnya hujan siang itu. Ada juga sekelompok bocah berseragam putih merah yang terlihat bersenang-senang diguyur hujan lebat. Dan bukan cuma satu kelompok, tetapi banyak sekali, dan semuanya laki-laki. Gue pun berhenti sejenak untuk memotret moment tersebut. Setelah selesai memotret, gue kembali melanjutkan perjalanan.

Singkat kata, pukul 11:30 tepat gue tiba di PJL Andir. Alangkah kagetnya ketika orang yang gue temui di dalam pos kecil bukanlah Pak Saleh, yang dinas hari itu, tetapi seorang bocah berseragam putih-biru tua, yang sama basah kuyupnya dengan gue. Dia adalah Dede, sesama railfan anak Bandung.

"Lho, De? Ngapain di sini?" tanyaku.
"Pulang cepet," jawab Dede. "Lu juga ngapain, ngebolos ya?"
"Enak aja, gue juga pulang cepet," jawabku.

Tiba-tiba terdengar lonceng penanda akan ada kereta lewat, tetapi Pak Saleh tak kunjung datang. Melihat lokomotif yang semakin mendekat dari arah timur, kami pun menjadi panik. Ketika masinis membunyikan semboyan 35 sangat panjang, akhirnya...

"Pencet aja yang di tengah!" seru Dede panik.
"Yakin yang itu?" tanyaku.
"Udah, pencet aja!" seru Dede lagi, lebih keras dari yang tadi.

Dengan penuh ketidakpastian gue pun menekan tombol yang terletak di tengah-tengah meja kontrol...

No comments:

Post a Comment